Oleh : Chusnul Wava Al Chumeid
Udara
malam berhembus. Dinginya menembus relung-relung jiwa yang kini tengah
hampa. Jiwa yang sedari kemarin tak tentu arahnya. Laksana perahu yang
tak punya tempat berlabuh dan kini sedang terombang-ambing badai di
tengah lautan. Hal itulah yang sekarang dirasakan oleh Rendi. “ Ah,
andai saja waktu itu aku tak menolak cinta Yesi, dan bukanya malah
mengejar-ngejar cinta Yeni, mungkin semuanya takkan jadi begini.”
Gumamnya lirih, selirih desahan ular di pematang sawah. Mungkin hanya
dirinya dan Tuhan yang mendengar.
Suasana malam itu begitu
sepi. Hampir tak ada orang lalu-lalang di depan rumahnya. Padahal masih
pukul 6 sore. Apalagi remaja seusianya. Mungkin mereka telah keluar
dari rumah masing-masing dan pergi entah kemana bersama pasangan mereka
menikmati indahnya malam 14 Februari. Rendi hanya bisa melamun dan
tertegun di depan teras rumahnya. Memang teras itu tidak begitu luas
hanya berukuran 3x4 meter dengan sebuah kursi panjang dari bambu hitam.
Namun itu merupakan tempat favorit Rendi untuk sejenak melepas lelah
sepulang sekolah atau bila sedang banyak pikiran dan galau seperti saat
ini.
Malam itu penuh dengan jutaan bintang di langit,
ditambah sinar rembulan yang temaram, menjadikan malam itu begitu indah
namun pahit bila dinikmati sendirian. Rendi berusaha menggeser kursi di
pojokan terasnya menuju halaman depan rumah. Agak berat memang, dan
menimbulkan suara dencitan yang agak keras karena gesekan antara
kaki-kaki kursi dengan lantai dari
mister. Sejurus kemudian,
dia merebahkan tubuhnya di kursi panjang itu. Dingin memang, apalagi
hanya beralaskan bambu. Namun dinginya malam itu tak mampu melebihi
dinginya hati Rendi yang kini tengah gelisah dan gundah. Sambil
menyandarkan kepalanya pada kedua tanganya dengan matanya menatap tajam
kearah langit yang dipenuhi bintang. Temaram sinar rembulan menyinari
raut muka
yang agak masam dan lusuh itu. Kini pikiranya telah melalang buana mengembara di seluruh angkasa.
“
Woi nyet, ngapain loe disitu. Nimbrung dong.” Tiba-tiba saja terdengar
suara yang telah membuyarkan semua lamunannya. Suara yang sangat ia
kenal dan yang selalu membuat gara-gara. Ya, itu adalah suara Veni, Veni
Indah Permata Sari lengkapnya. Dia adalah sahabat masa kecil Rendi.
Mulai dari SD sampai kini mereka kelas 2 SMA, selalu bersama-sama.
Maklum lah, Veni adalah tetangga Rendi, rumah mereka pun bersebelahan.
Kedua orang tua mereka juga sudah sangat kenal satu sama lain. Menurut
Rendi, Veni itu orangnya agak tomboy, tapi asik kalau diajak ngobrol.
Orangnya supel, mudah bergaul, tapi suka usil. Kadang, bahkan seringkali
Rendi diusili hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Namun hal itu tak
jadi aral untuk persahabat mereka. Karena mereka sudah akrab sejak
kecil. Sehingga hal itu mereka anggab sebagai rasa sayangnya sahabat
kepada sohibnya.
“Alah loe nyit. Ngagetin aja. Gue kira
cewek cantik yang nyasar kemari. Eh, taunya cewek jadi-jadian. Hahaha”
tawa Rudi memecah kesunyian malam itu. Kita memang terbiasa memanggil
satu sama lain bukan pakai nama asli. Karena nama itulah yang lebih
mengakrabkan kita. Kalau Veni memanggil gue Monyet. Katanya gue mirip
monyet gitu. Padahal tampang gue kan kayak Leonardo Di Caprio. Jauh kali
sama Monyet. Hahaha. Kalau gue manggil si Veni dengan sebutan Kunyit.
Kenapa Kunyit?, karena dari kecil bau badannya tuh kayak kunyit. Makanya
gue panggil Kunyit. Mungkin mamanya dulu waktu hamil ngidam kunyit kali
ya.
“ Woo, rese loe nyet. Pakek ngatain gue cewek
jadi-jadian. Gue ini bukan cewek jadi-jadian tau !” Kilah Veni sambil
menjithak kepala Rendi.
“ Adaw, sakit tahu nyit.”
“ Biarin. Wkwkwkw. Emang gue pikirin. IDL .”
“ Huft, lha terus kalo loe bukan cewek jadi-jadian, terus cewek apa dong?” Tanya Rendi dengan sedikit mengejek.
“
Hmmm, gue kan cewek-cewekan nyet.” Tawa mereka pecah. Menggema di
seluruh angkasa. Meyibak tirai kesunyian malam 14 Februari ini. Tak ada
yang mendengar dan melihat tawa lepas mereka. Mereka benar-benar berdua.
Kecuali suara-suara berisik jangkrik di balik rerumputan.
“ Eh nyet, gue lihat loe tadi kayak lagi nglamun. Nglamunin jorok ya.” Suara Veni tiba-tiba memutus tawa mereka.
“ Enak aja, sekate-kate loe ya kalau bilang. Ya gak lah. Seorang Rendi gitu. Ndak mungkinlah mikir jorok.”
“
Terus mikirin apa dong?. Mikirin gue ya. Loe kangenkan ma gue. Ngaku
aja loe.” Jarinya menunjuk tepat di muka Rendi. Sambil sutas senyum
terpancar di wajahnya. Semakin tampak lensung pipit indahnya ditambah
gigi depannya yang
gisul, tampak begitu manis.
“ Idih, GR
banget loe. Ngapain juga gue mikirin loe. Ogah banget nyit. Hahaha”
lagi-lagi tawa Rendi menyeruak diantara lambaian rerumputan yang
bergoyang diterpa angin malam. “ gue itu lagi suntuk aja nyit. Kenapa
dari dulu nasib sial selalu menimpa gue. dari. . . . ”
“ Emang loe itu orangnya sialan nyet.” Potong Veni, sambil terkekeh-kekeh.
“ Heh, gue belum selesei ngomong nyit. Maen potong aja loe. Gue serius nie.”
“Iya deh, sory nyet. Gitu aja ngambek.” Rengek Veni.
Malam
semakin beranjak. Dewi Bulan semakin terang. Menyinari dua sejoli yang
tengah asik bercakap-cakap. Di malam itu, Rendi menceritakan semua yang
ada di pikiranya kepada sahabat terbaiknya itu. Mulai saat ia pernah
ditembak sama Yesi, yang kemudian dengan tega telah menolak cintanya.
Hingga Yesi tak mau lagi menemui Rendi karena malu. Sampai waktu dirinya
mengejar habis-habisan si Yeni, primadona di kelasnya. Dan selalu
berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan. Bahkan dirinya sempat putus
asa. Mungkin Tuhan tidak membuatkan jodoh untuknya dan menjadikan dia
jomblo seumur hidupnya.
Setelah panjang lebar Rendi bercerita
penderitaanya. Suasana menjadi hening. Tak ada sepatah kata keluar dari
mulut keduanya. Mereka berdua termenung, termangu dalam pikiran
masing-masing.
“ Nyet. Loe tahu nggak. Siapa jodohnya
Bulan.” Seketika suara lembut keluar dari mulut manis Veni. Memotong
keheningan di malam sunyi. Dia meyandarkan kepalanya di pundak Rendi.
Deg.
Perasaan apa barusan yang terlintas dalam hatiku. Terasa ada sesuatu
yang begertar ketika Veni menyandarkan kepalanya di pundakku. Oh Tuhan,
perasaan apa ini ?. gumamnya dalam hati.
“ Walah. Ngina gue loe
nyit. Ya jelas tahu beuud. Pasti Matahari kan?.” Dengan sedikit tawa
kecil. Mencoba menetralisir perasaan yang telah melintas dalam hatinya.
“ Salah loe nyet. Bukan Matahari.”
“ Terus…….”
“ Bintang nyet.”
“ Kok bisa nyit ?” sambil garuk-garuk kepala. Persis kayak monyet yang lagi mencari kutu.
“ Memang kebanyakan orang mengira bahwa Matahari lah jodoh Bulan. Tapi loe nyadar gak nyet. Apakah
Matahari
pernah bersanding dengan Bulan? Pernah dekat dengan Bulan?. Sama sekali
nggak kan?. Bintang lah yang selalu dekat, selalu bersanding, dan
selalu menemani Bulan, disaat dia senang dan sedih. Tapi Bulan tidak
pernah sadar bahwa Bintang lah jodohnya, bukan Matahari. Sehingga
sekeras apapun Bulan mengejar Matahari, mereka tak akan bisa bersama dan
berdekatan.” Panjang lebar Evi bercerita pada Rendi. Persis kayak
mahasiswa yang lagi orator.
“ Mak lud soe, eh maksud loe nyit ?. Kok gue tambah nggak
ngeh gini.”
“
Makanya nyet, kalau punya otak itu dibuat mikir. Maksud gue, loe itu
masih tetep punya jodoh.” Koar Evi bersemangat. Mulutnya seolah-olah
menyemburkan api membara karena saking semangatnya.
“ Halah, loe nggak usah sok menghibur gue nyit. Emang gue ini nggak punya jodoh.”
“
Husst, jangan ngomong gitu nyet. Beneran gue ini. serius !” Evi
berdiri, lalu memegang pundak Rendi dengan kedua tanganya, kemudian
menatap tajam Rendi.
Deg. Lagi-lagi perasaan ini muncul secara
tiba-tiba. Kenapa hatiku semakin berdebar-debar ketika Evi menatapku?,
mungkinkah rasa ini yang selalu aku agung-agungkan ketika
mengejar-ngejar Yeni atau perasaan Yesi yang tak tersampaikan kepadaku?.
Ya Robb, kenapa hatiku jadi tidak menentu seperti ini, gumamnya. Segera
ia berusaha menepis perasaan itu.
“Ada kok nyet !!” suara Evi agak meninggi.
“ Lalu siapa nyit, siapa ?”
Evi
terdiam sejenak. Mulutnya tiba-tiba kaku. Sulit sekali rasanya ia untuk
membuka mulutnya dan berkata. Andai saja kau tahu Ren. Jodohmu tidaklah
jauh dari rumahmu, tidak pernah jauh dari dirimu, bahkan sekarang
sedang ada dihadapanmu. Andai saja kau lebih bisa membuka mata dan
hatimu. Pastinya kamu akan tahu betapa besar cintaku padamu. Kebersamaan
yang telah kita lalui semenjak kecil, persahabatan yang telah kita
rajut sejak dulu, lambat laun telah menumbuhkan benih-benih cinta di
hatiku Ren. Tapi sayang, bibir ini tak mampu bergetar, tenggorokan ini
tak mampu bersua untuk mengatakan bahwa ‘AKULAH JODOHMU’. Batin Evi
dengan kepala tertunduk.
“ Loe kenapa nyit.” Rendi bangun
dari duduknya, lantas memegang pundak Evi dengan kedua tanganya. Kenapa
semakin aku memandangmu. Semakin berdebar-debar rasa di hatiku Vi. Rasa
yang sudah sejak lama aku rasakan dan selalu kutepiskan itu, semakin
kuat rasanya malam ini. ya Robb, salahkah bila aku mencintai sahabatku.
Salahkah bila persahabatan kami selama ini telah mengalirkan
percikan-percikan api cinta. Ingin rasanya hati ini untuk berkata. Namun
mulut ini terkunci rapat. Andaikan aku mengatakan ini, apakah ia juga
merasakan rasa yang sama denganku?. Betapa bodohnya aku, jika dia tak
pernah memiliki perasaan itu dan hanya menganggapku sebagai teman masa
kecilnya. Semua perasaan itu berkecamuk menjadi satu dalam hati Rendi.
Malam
semakin larut. Hembusan angin malam bersamaan daun-daun kering yang
berguguran. Suara jangkrik-jangkrik dalam pematang beserta puluhan
kunang-kunang yang datang mengelilingi, menerangi dan mengiringi dua
hati yang selalu dekat, selalu bersama, selalu berdampingan dan
bergandengan tangan, tapi tak pernah bisa bersatu dan menyatu. . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . To Be Continued