web stats

Friday 1 March 2013

Malam 14 Februari

 


Oleh : Chusnul Wava Al Chumeid

Udara malam berhembus. Dinginya menembus relung-relung jiwa yang kini tengah hampa. Jiwa yang sedari kemarin tak tentu arahnya. Laksana perahu yang tak punya tempat berlabuh dan kini sedang terombang-ambing badai di tengah lautan. Hal itulah yang sekarang dirasakan oleh Rendi. “ Ah, andai saja waktu itu aku tak menolak cinta Yesi, dan bukanya malah mengejar-ngejar cinta Yeni, mungkin semuanya takkan jadi begini.” Gumamnya lirih, selirih desahan ular di pematang sawah. Mungkin hanya dirinya dan Tuhan yang mendengar.

Suasana malam itu begitu sepi. Hampir tak ada orang lalu-lalang di depan rumahnya. Padahal masih pukul 6 sore.  Apalagi remaja seusianya. Mungkin mereka telah keluar dari rumah masing-masing dan pergi entah kemana bersama pasangan mereka menikmati indahnya malam 14 Februari. Rendi hanya bisa melamun dan tertegun di depan teras rumahnya. Memang teras itu tidak begitu luas hanya berukuran 3x4 meter dengan sebuah kursi panjang dari bambu hitam. Namun itu merupakan tempat favorit Rendi untuk sejenak melepas lelah sepulang sekolah atau bila sedang banyak pikiran dan galau seperti saat ini.

Malam itu penuh dengan jutaan bintang di langit, ditambah sinar rembulan yang temaram, menjadikan malam itu begitu indah namun pahit bila dinikmati sendirian. Rendi berusaha menggeser kursi di pojokan terasnya menuju halaman depan rumah. Agak berat memang, dan menimbulkan suara dencitan yang agak keras karena gesekan antara kaki-kaki kursi dengan lantai dari mister. Sejurus kemudian, dia merebahkan tubuhnya di kursi panjang itu. Dingin memang, apalagi hanya beralaskan bambu. Namun dinginya malam itu tak mampu melebihi dinginya hati Rendi yang kini tengah gelisah dan gundah. Sambil menyandarkan kepalanya pada kedua tanganya dengan matanya menatap tajam kearah langit yang dipenuhi bintang. Temaram sinar rembulan menyinari raut muka
yang agak masam dan lusuh itu. Kini pikiranya telah melalang buana mengembara di seluruh angkasa.

“ Woi nyet, ngapain loe disitu. Nimbrung dong.” Tiba-tiba saja terdengar suara yang telah membuyarkan semua lamunannya. Suara yang sangat ia kenal dan yang selalu membuat gara-gara. Ya, itu adalah suara Veni, Veni Indah Permata Sari lengkapnya. Dia adalah sahabat masa kecil Rendi. Mulai dari SD sampai kini mereka kelas 2 SMA, selalu bersama-sama. Maklum lah, Veni adalah tetangga Rendi, rumah mereka pun bersebelahan. Kedua orang tua mereka juga sudah sangat kenal satu sama lain. Menurut Rendi, Veni itu orangnya agak tomboy, tapi asik kalau diajak ngobrol. Orangnya supel, mudah bergaul, tapi suka usil. Kadang, bahkan seringkali Rendi diusili hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Namun hal itu tak jadi aral untuk persahabat mereka. Karena mereka sudah akrab sejak kecil. Sehingga hal itu mereka anggab sebagai rasa sayangnya sahabat kepada sohibnya.

“Alah loe nyit. Ngagetin aja. Gue kira cewek cantik yang nyasar kemari. Eh, taunya cewek jadi-jadian. Hahaha” tawa Rudi memecah kesunyian malam itu. Kita memang terbiasa memanggil satu sama lain bukan pakai nama asli. Karena nama itulah yang lebih mengakrabkan kita. Kalau Veni memanggil gue Monyet. Katanya gue mirip monyet gitu. Padahal tampang gue kan kayak Leonardo Di Caprio. Jauh kali sama Monyet. Hahaha. Kalau gue manggil si Veni dengan sebutan Kunyit. Kenapa Kunyit?, karena dari kecil bau badannya tuh kayak kunyit. Makanya gue panggil Kunyit. Mungkin mamanya dulu waktu hamil ngidam kunyit kali ya.

“ Woo, rese loe nyet. Pakek ngatain gue cewek jadi-jadian. Gue ini bukan cewek jadi-jadian tau !” Kilah Veni sambil menjithak kepala Rendi.
“ Adaw, sakit tahu nyit.”
“ Biarin. Wkwkwkw. Emang gue pikirin. IDL .”
“ Huft, lha terus kalo loe bukan cewek jadi-jadian, terus cewek apa dong?” Tanya Rendi dengan sedikit mengejek.
“ Hmmm, gue kan cewek-cewekan nyet.” Tawa mereka pecah. Menggema di seluruh angkasa. Meyibak tirai kesunyian malam 14 Februari ini. Tak ada yang mendengar dan melihat tawa lepas mereka. Mereka benar-benar berdua. Kecuali suara-suara berisik jangkrik di balik rerumputan.

“ Eh nyet, gue lihat loe tadi kayak lagi nglamun. Nglamunin jorok ya.” Suara Veni tiba-tiba memutus tawa mereka.
“ Enak aja, sekate-kate loe ya kalau bilang. Ya gak lah. Seorang Rendi gitu. Ndak mungkinlah mikir jorok.”
“ Terus mikirin apa dong?. Mikirin gue ya. Loe kangenkan ma gue. Ngaku aja loe.” Jarinya menunjuk tepat di muka Rendi. Sambil sutas senyum terpancar di wajahnya. Semakin tampak lensung pipit indahnya ditambah gigi depannya yang gisul, tampak begitu manis.
“ Idih, GR banget loe. Ngapain juga gue mikirin loe. Ogah banget nyit. Hahaha” lagi-lagi tawa Rendi menyeruak diantara lambaian rerumputan yang bergoyang diterpa angin malam. “ gue itu lagi suntuk aja nyit. Kenapa dari dulu nasib sial selalu menimpa gue. dari. . . . ”
“ Emang loe itu orangnya sialan nyet.” Potong Veni, sambil terkekeh-kekeh.
“ Heh, gue belum selesei ngomong nyit. Maen potong aja loe. Gue serius nie.”
“Iya deh, sory nyet. Gitu aja ngambek.” Rengek Veni.

Malam semakin beranjak. Dewi Bulan semakin terang. Menyinari dua sejoli yang tengah asik bercakap-cakap. Di malam itu, Rendi menceritakan semua yang ada di pikiranya kepada sahabat terbaiknya itu. Mulai saat ia pernah ditembak sama Yesi, yang kemudian dengan tega telah menolak cintanya. Hingga Yesi tak mau lagi menemui Rendi karena malu. Sampai waktu dirinya mengejar habis-habisan si Yeni, primadona di kelasnya. Dan selalu berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan. Bahkan dirinya sempat putus asa. Mungkin Tuhan tidak membuatkan jodoh untuknya dan menjadikan dia jomblo seumur hidupnya.
Setelah panjang lebar Rendi bercerita penderitaanya. Suasana menjadi hening. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut keduanya. Mereka berdua termenung, termangu dalam pikiran masing-masing.

“ Nyet. Loe tahu nggak. Siapa jodohnya Bulan.” Seketika suara lembut keluar dari mulut manis Veni. Memotong keheningan di malam sunyi. Dia meyandarkan kepalanya di pundak Rendi. Deg. Perasaan apa barusan yang terlintas dalam hatiku. Terasa ada sesuatu yang begertar ketika Veni menyandarkan kepalanya di pundakku. Oh Tuhan, perasaan apa ini ?. gumamnya dalam hati.
“ Walah. Ngina gue loe nyit. Ya jelas tahu beuud. Pasti Matahari kan?.” Dengan sedikit tawa kecil. Mencoba menetralisir perasaan yang telah melintas dalam hatinya.
“ Salah loe nyet. Bukan Matahari.”
“ Terus…….”
“ Bintang nyet.”
“ Kok bisa nyit ?” sambil garuk-garuk kepala. Persis kayak monyet yang lagi mencari kutu.
“ Memang kebanyakan orang mengira bahwa Matahari lah jodoh Bulan. Tapi loe nyadar gak nyet. Apakah
Matahari pernah bersanding dengan Bulan? Pernah dekat dengan Bulan?. Sama sekali nggak kan?. Bintang lah yang selalu dekat, selalu bersanding, dan selalu menemani Bulan, disaat dia senang dan sedih. Tapi Bulan tidak pernah sadar bahwa Bintang lah jodohnya, bukan Matahari. Sehingga sekeras apapun Bulan mengejar Matahari, mereka tak akan bisa bersama dan berdekatan.” Panjang lebar Evi bercerita pada Rendi. Persis kayak mahasiswa yang lagi orator.
“ Mak lud soe, eh maksud loe nyit ?. Kok gue tambah nggak ngeh gini.”
“ Makanya nyet, kalau punya otak itu dibuat mikir. Maksud gue, loe itu masih tetep punya jodoh.” Koar Evi bersemangat. Mulutnya seolah-olah menyemburkan api membara karena saking semangatnya.
“ Halah, loe nggak usah sok menghibur gue nyit. Emang gue ini nggak punya jodoh.”
“ Husst, jangan ngomong gitu nyet. Beneran gue ini. serius !” Evi berdiri, lalu memegang pundak Rendi dengan kedua tanganya, kemudian menatap tajam Rendi. Deg. Lagi-lagi perasaan ini muncul secara tiba-tiba. Kenapa hatiku semakin berdebar-debar ketika Evi menatapku?, mungkinkah rasa ini yang selalu aku agung-agungkan ketika mengejar-ngejar Yeni atau perasaan Yesi yang tak tersampaikan kepadaku?. Ya Robb, kenapa hatiku jadi tidak menentu seperti ini, gumamnya. Segera ia berusaha menepis perasaan itu.
“Ada kok nyet !!” suara Evi agak meninggi.
“ Lalu siapa nyit, siapa ?”
Evi terdiam sejenak. Mulutnya tiba-tiba kaku. Sulit sekali rasanya ia untuk membuka mulutnya dan berkata. Andai saja kau tahu Ren. Jodohmu tidaklah jauh dari rumahmu, tidak pernah jauh dari dirimu, bahkan sekarang sedang ada dihadapanmu. Andai saja kau lebih bisa membuka mata dan hatimu. Pastinya kamu akan tahu betapa besar cintaku padamu. Kebersamaan yang telah kita lalui semenjak kecil, persahabatan yang telah kita rajut sejak dulu, lambat laun telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku Ren. Tapi sayang, bibir ini tak mampu bergetar, tenggorokan ini tak mampu bersua untuk mengatakan bahwa ‘AKULAH JODOHMU’. Batin Evi dengan kepala tertunduk.

“ Loe kenapa nyit.” Rendi bangun dari duduknya, lantas memegang pundak Evi dengan kedua tanganya. Kenapa semakin aku memandangmu. Semakin berdebar-debar rasa di hatiku Vi. Rasa yang sudah sejak lama aku rasakan dan selalu kutepiskan itu, semakin kuat rasanya malam ini. ya Robb, salahkah bila aku mencintai sahabatku. Salahkah bila persahabatan kami selama ini telah mengalirkan percikan-percikan api cinta. Ingin rasanya hati ini untuk berkata. Namun mulut ini terkunci rapat. Andaikan aku mengatakan ini, apakah ia juga merasakan rasa yang sama denganku?. Betapa bodohnya aku, jika dia tak pernah memiliki perasaan itu dan hanya menganggapku sebagai teman masa kecilnya. Semua perasaan itu berkecamuk menjadi satu dalam hati Rendi.

Malam semakin larut. Hembusan angin malam bersamaan daun-daun kering yang berguguran. Suara jangkrik-jangkrik dalam pematang beserta puluhan kunang-kunang yang datang mengelilingi, menerangi dan mengiringi dua hati yang selalu dekat, selalu bersama, selalu berdampingan dan bergandengan tangan, tapi tak pernah bisa bersatu dan menyatu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . To Be Continued

0 comments:

Post a Comment

thanks dah koment....